Sa-ijaan.com, Kotabaru- Menyambut Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, Koalisi Buruh Sawit (KBS) menggelar Forum Group Discussion (FGD) yang membahas persoalan mendesak di kalangan buruh sawit, khususnya soal struktur dan skala upah serta perlindungan kerja.
Acara ini digelar di Hotel Grand Surya lantai 5, Rabu (30/4/2025), dan dihadiri oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, organisasi buruh, hingga perwakilan pengusaha sawit.
FGD ini menjadi bagian penting dalam rangkaian perayaan May Day, sekaligus menjadi wadah suara para buruh yang selama ini merasa belum sepenuhnya didengar.
Hadir sebagai narasumber antara lain Direktur Politeknik Kotabaru M. Rezki Oktavianoor, perwakilan Disnakertrans Yanti, SH, perwakilan organisasi buruh Rutqi, S.Sos, serta perwakilan GAPKI Kalsel.
Sekretaris Aliansi Serbu Saka, Harun Ar-Rasyid, menyampaikan bahwa sampai saat ini buruh sawit di Kalimantan Selatan masih menghadapi banyak ketidakadilan, terutama terkait regulasi perlindungan kerja yang belum memihak buruh secara penuh.
“Selama ini regulasi yang ada belum cukup untuk melindungi buruh sawit. Banyak di antara kami yang masih berstatus buruh lepas, PHL, atau borongan, dengan jam kerja kurang dari 21 hari. Upah yang diterima kadang cuma Rp600 ribu sebulan—itu jelas jauh dari layak,” tegas Harun.
Koalisi Buruh Sawit saat ini telah menyusun draft Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) sebagai bentuk perjuangan nyata untuk memperkuat perlindungan buruh sawit.
Draft ini rencananya akan disampaikan langsung ke DPRD Kotabaru pada peringatan May Day, agar bisa dikaji dan dibahas secara terbuka.
Harun juga menyoroti bahwa perjuangan menetapkan UMK di Kotabaru pada 2017 adalah salah satu bukti nyata bahwa ketika buruh bersatu, hasilnya bisa besar.
“Kotabaru sampai hari ini punya UMK tertinggi di Kalsel, tapi perjuangan belum selesai. Kami terus mengawal agar UMK naik dan bisa memenuhi kebutuhan hidup layak,” ujarnya.
Menurutnya, yang menjadi dilema saat ini adalah ketika regulasi hanya jadi alat titipan dari kepentingan kapitalis. “Buruh dan pengusaha punya kepentingan yang berbeda. Buruh ingin hidup layak, sementara pengusaha ingin menekan biaya. Kalau negara tidak berpihak, buruh yang jadi korban,” tambahnya.
FGD ini diharapkan menjadi pemantik untuk menyuarakan kondisi riil buruh sawit di lapangan, dan mendesak pemerintah serta DPRD agar tidak tutup mata. Sebab, buruh tidak butuh janji, tapi perlindungan nyata.